Masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan berita rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% pada 2025. Dalam rapat kerja bersama komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan 9 September yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, beserta Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dan jajaran lainnya kembali membahas rencana kenaikan PPN ini.
Menurut situs Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu RI, tarif PPN sendiri telah ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi 11 persen sejak 1 April 2022 lalu dan akan dinaikkan secara bertahap sampai dengan 12 persen di tahun 2025. Hal ini disebut dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau lebih dikenal dengan UU HPP Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN.
Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, PPN memiliki peran penting dalam anggaran belanja negara, terlebih kondisi keuangan negara yang menurun pasca pandemi covid-19, di mana negara mengalami pembengkakan pengeluaran untuk bantuan sosial, pemberian insentif tenaga medis, vaksinasi gratis, hingga penanganan dan perawatan para pasien, namun tidak dibarengi dengan sumber penerimaan negara yang meningkat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa rata-rata PPN di seluruh dunia sebesar 15 persen, sehingga apabila PPN Indonesia naik menjadi 12% masih lebih rendah dari rata-rata PPN dunia. Menurut Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Sri Herianingrum SE MSc, kenaikan pajak akan meningkatkan pendapatan pemerintah, namun berpotensi mengurangi aktivitas ekonomi mikro. Dampaknya akan terasa pada proses produksi dengan adanya tambahan biaya yang kemungkinan akan mengurangi profitabilitas perusahaan.
Meski demikian, pemerintah mengaku siap mengkaji konsekuensi dari kenaikan tarif tersebut. Dalam rapat 9 September tersebut, pemerintah akan sangat berhati-hati dalam melakukan implementasinya. Seluruh rancangan kebijakan akan mempertimbangkan berbagai aspek, terutama aspek ekonomi sehingga penerapannya akan tepat, efektif, dan terukur. Pemerintah berdalih bahwa UU HPP tidak hanya mengatur tentang kenaikan tarif PPN, tapi juga pemberian insentif permanen bagi UMKM berupa fasilitas omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta. Selain itu, untuk barang dan jasa seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan juga tetap dibebaskan dari pengenaan PPN. Insentif-insentif pajak di atas juga disinergikan dengan pengendalian inflasi dan penguatan perlindungan sosial.
Selama rapat, fraksi dari Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera meminta untuk mengkaji kembali kenaikan tarif PPN 12% pada 2025. Sampai saat ini pemerintah mengaku akan mempertimbangkan seluruh pandangan publik, terutama dari DPR apakah kenaikan ini akan dilanjutkan atau ditunda.
Jangan lupa subscribe channel!