Kabar duka kepergian Sammy Basso, penulis dan aktivis asal Italia ini disampaikan oleh Asosiasi Progeria Italia yang Ia dirikan bersama orangtuanya melalui akun media sosial lembaga tersebut pada Minggu (6/10/2024). Sammy menjadi penyintas terlama penyakit langka progeria dengan usia 28 tahun.
Sammy meninggal dunia pada malam hari tanggal 5 Oktober setelah terserang penyakit mendadak saat berada di sebuah restoran di daerah Treviso. Ada adugaan Ia terserang komplikasi kardiovaskular akibat progeria yang Ia derita. Progeria adalah penyakit mutasi genetik yang sangat langka yang menyerang satu dari 8 juta kelahiran. Ada sekitar 400 anak muda di seluruh dunia yang terkena penyakit ini. Penyakit progeria membuat Sammy terlihat tidak biasa — botak, tidak punya alis, dan terlihat menua sebelum waktunya. Pada bulan Februari 2019, Ia selamat dari penyakit berat: gagal jantung parah yang menyebabkannya mengalami stenosis kalsifikasi parah pada katup aorta. Ia adalah orang pertama dengan kondisi seperti itu yang berhasil menjalani prosedur tersebut.
Mutasi yang menyebabkan penyakit ini biasanya muncul secara de novo, atau “baru,” yang berarti bahwa penyakit ini tidak diwariskan tetapi terjadi secara spontan selama masa kehamilan. Tantangannya, seperti halnya semua penyakit langka, adalah bahwa sedikitnya kasus berarti sedikit pula pengobatannya. Francis Collins, seorang ahli genetika yang kini menjabat sebagai direktur National Institutes of Health, mencari tahu dasar genetika progeria—satu mutasi yang dimiliki Sammy. Penemuan tersebut memicu minat terhadap lonafarnib, sebuah obat yang telah digunakan pada pasien kanker tetapi berpotensi bekerja di hilir mutasi, mencegah penumpukan progerin yang rusak di dalam tubuh. Sammy mulai mengonsumsi lonafarnib, dan Yayasan Penelitian Progeria sesekali menerbangkannya dan peserta uji coba internasional lainnya ke Boston untuk menjalani tes. Ia langsung dihinggapi beberapa efek samping obat yang tidak mengenakkan: Masalah perut, mual, dan muntah. “Periode pertama benar-benar merupakan periode terburuk dalam hidup saya,” katanya. Sammy mengaku tidak merasakan efek positif apa pun dari lonafarnib, tetapi kesehatannya membaik dibandingkan dengan penderita progeria yang tidak mengonsumsinya. Menurut Klinik Cleveland, harapan hidup rata-rata penderita progeria adalah 14,5 tahun, meskipun beberapa orang dewasa dapat hidup hingga awal usia 20-an, dibantu dengan lonafarnib.
Terinspirasi oleh penelitian yang menghasilkan lonafarnib, Ia kemudian kuliah master di universitas untuk mempelajari biologi molekuler. Untuk tesisnya, ia pergi ke Spanyol untuk melakukan eksperimen pada sel dan tikus yang mengidap progeria, mempelajari cara menggunakan teknik penyuntingan gen CRISPR-Cas9 untuk memotong bagian DNA yang bermutasi. “Saya sangat bersemangat untuk berpartisipasi dalam penelitian ini,” kata Sammy. Ia merasa bahwa karyanya dapat membuat perbedaan. Ilmu pengetahuan tentang progeria telah berkembang pesat sebagian berkat Basso. Ia menjadi sukarelawan untuk uji klinis yang kelak menjadi obat pertama yang disetujui untuk mengobati penyakit tersebut, obat yang membantu mencegah penumpukan protein beracun, memperlambat perkembangan gejala, dan memperpanjang hidup beberapa pasien.