Kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo (23) terus menyisakan duka dan tanda tanya besar. Prajurit muda yang baru dua bulan menginjakkan kaki di barak militer ini harus meregang nyawa setelah diduga menjadi korban penganiayaan oleh puluhan seniornya. Kasus ini pun memicu kemarahan publik dan sorotan tajam terhadap sistem pembinaan prajurit TNI.

20 Tersangka, Termasuk Seorang Perwira

Hingga saat ini, sudah 20 orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk seorang perwira yang identitasnya masih dirahasiakan. Mereka terancam hukuman berat di bawah lima pasal berbeda:

  1. Pasal 170 KUHP – Kekerasan bersama di muka umum (ancaman 5 tahun 6 bulan penjara).
  2. Pasal 351 KUHP – Penganiayaan hingga menyebabkan kematian (hukuman maksimal 7 tahun).
  3. Pasal 354 KUHP – Penganiayaan berat berujung kematian (hukuman hingga 10 tahun).
  4. Pasal 131 KUHPM – Penganiayaan dalam lingkungan militer (hukuman 9 tahun penjara).
  5. Pasal 132 KUHPM – Kelalaian atasan yang membiarkan kejahatan (hukuman setara percobaan kejahatan).

Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, Kadispenad, menegaskan bahwa penerapan pasal-pasal ini akan disesuaikan dengan hasil penyidikan lebih lanjut.

Korban Lain yang Selamat

Tak hanya Prada Lucky, ternyata ada satu lagi junior TNI yang mengalami perlakuan serupa. Namun, korban kedua ini masih dalam kondisi stabil.

“Memang ada satu lagi, tapi kondisinya baik. Setiap prajurit memiliki ketahanan fisik yang berbeda,” jelas Wahyu.

Fakta ini semakin menguatkan dugaan bahwa kekerasan sistematis mungkin telah terjadi di lingkungan tersebut.

Respons Pangdam: “Latihan Keras Bukan Berarti Kekerasan”

Mayjen TNI Piek Budyakto, Pangdam IX/Udayana, menegaskan bahwa pelatihan prajurit harus dilakukan secara disiplin, tetapi tidak boleh melampaui batas.

“Latihan keras itu sesuai prosedur, bukan berarti kekerasan. Prajurit harus kuat, tapi pembinaan harus manusiawi,” tegasnya.

Ia juga berjanji akan mengusut tuntas kasus ini tanpa pandang bulu, sesuai permintaan keluarga korban.

Misteri CCTV dan Saksi Kunci

Pertanyaan besar lainnya adalah apakah ada rekaman CCTV yang bisa mengungkap kejadian sebenarnya. Namun, Wahyu Yudhayana justru menyebut bahwa saksi hidup—para prajurit yang selamat—akan menjadi kunci utama penyidikan.

“Ada saksi. Mereka adalah ‘CCTV’ terbaik dalam kasus ini,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa tidak ada alat khusus yang digunakan dalam penganiayaan ini—hanya kekuatan fisik tangan para pelaku.

Refleksi Sistem Pembinaan TNI

Kasus ini kembali mempertanyakan metode pembinaan prajurit di Indonesia. Wahyu mengakui bahwa ada “ketidaksesuaian” dalam prosedur, meski tidak merinci lebih jauh.

“Latihan harus keras, tapi bukan dengan kekerasan. Itu yang harus dipahami,” tegasnya.

Kini, semua mata tertuju pada proses hukum selanjutnya. Akankah keadilan benar-benar ditegakkan? Atau kasus ini akan tenggelam seperti banyak kasus serupa sebelumnya?

Yang jelas, kematian Prada Lucky bukan sekadar angka statistik—ini adalah tamparan keras bagi sistem yang seharusnya melindungi prajurit mudanya.

By Risma

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *