Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memasuki babak baru setelah proses penetapan raja yang sempat menimbulkan polemik panjang. Pada Sabtu (15/11/2025), Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro—yang lebih dikenal masyarakat sebagai KGPH Purbaya—akhirnya dikukuhkan sebagai Raja Surakarta. Ia kini menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XIV (PB XIV), menggantikan ayahandanya, mendiang Pakubuwono XIII.
Prosesi Jumeneng Nata Binayangkare
Upacara pengukuhan berlangsung di kompleks Keraton Surakarta secara sakral dan tertutup. Sejak pukul 11.00 WIB, suara gamelan dan langkah para prajurit yang memenuhi halaman keraton menandai dimulainya prosesi Jumeneng Nata Binayangkare—ritual tinggi adat Jawa yang menandai naiknya raja ke singgasana.
Dalam berbagai rekaman yang beredar, PB XIV terlihat melangkah keluar melalui kori Kamandungan menuju Siti Hinggil dengan penuh kewibawaan. Para abdi dalem membawa pusaka-pusaka penting sebagai simbol legitimasi dan ikatan spiritual antara raja dan rakyat.
Di Siti Hinggil, Purbaya yang mengenakan beskap ungu menjalani Upacara Keprabon Dalem. Pada puncak ritual, ia berdiri di atas Watu Gilang, batu keramat yang menjadi titik simbolis penyampaian sabda dalem. Dengan suara tegas namun tenang, ia membacakan ikrar sebagai penerus tahta Keraton Surakarta.
Prosesi inti kemudian diteruskan di Ndalem Ageng, tempat paling sakral di dalam keraton. Tidak ada media yang diperbolehkan masuk, menegaskan kekhidmatan adat yang telah diwariskan selama ratusan tahun.
Tidak Dihadiri KGPH Hangabehi
Keputusan ini sekaligus mengakhiri tarik ulur suksesi antara dua putra PB XIII, yaitu KGPH Purbaya dan saudaranya, KGPH Hangabehi. Hangabehi, yang merupakan putra tertua dari istri kedua PB XIII, sebelumnya dinobatkan sebagai Pakubuwono XIV oleh Lembaga Dewan Adat (LDA). Namun, ia tidak terlihat hadir dalam prosesi Jumenengan Purbaya.
LDA berpegang pada alasan bahwa sebagai putra laki-laki tertua, Hangabehi berhak atas takhta. Di sisi lain, pihak Purbaya menegaskan bahwa PB XIII telah menetapkannya sebagai Putra Mahkota pada tahun 2022, sehingga dialah yang memiliki legitimasi penuh.
Benturan dua dasar suksesi—“penetapan raja sebelumnya” versus “hak anak laki-laki tertua”—membuat konflik semakin rumit dan menjadi perdebatan luas di media sosial.
Keraton Surakarta Kembali Terbelah
Keraton Kasunanan Surakarta bukan pertama kali mengalami perpecahan. Riwayat konflik panjang suksesi sudah terjadi sejak wafatnya PB XII pada 2004, ketika Hangabehi dan Tedjowulan sama-sama mengklaim tahta dan dikenal sebagai “Raja Kembar”.
Walaupun pernah terjadi rekonsiliasi pada 2012 melalui mediasi Joko Widodo dan Mooryati Soedibyo, perpecahan internal tetap berlangsung dan melahirkan kubu-kubu baru seperti Lembaga Dewan Adat (LDA) yang hingga kini masih memiliki peran kuat dalam dinamika internal keraton.
Kini, sejarah seakan berulang. Setelah PB XIII wafat, dua putranya kembali mengklaim gelar Pakubuwono XIV. Puncaknya, dua penobatan raja dilakukan hanya dalam hitungan hari oleh dua kubu berbeda, mempertebal ketegangan di lingkungan keraton.
Situasi semakin panas ketika GKR Timoer Rumbay—putri PB XIII sekaligus kakak Purbaya—secara langsung mendatangi lokasi penobatan Hangabehi dan menyatakan keberatan keras. Ia menilai penobatan itu tidak menghormati kesepakatan keluarga besar yang sebelumnya telah menunjuk Purbaya sebagai pewaris tahta.
Kirab Agung Setelah Prosesi Tertutup
Setelah prosesi Jumenengan selesai, Keraton Surakarta menggelar Kirab Agung sebagai simbol keterbukaan kepada masyarakat. Marching band mengiringi barisan prajurit serta abdi dalem dalam kirab yang berlangsung sekitar pukul 11.30 WIB. Acara ini menjadi momen penyampaian pesan bahwa raja baru telah resmi naik takhta dan siap menjalankan amanah.
Dinasti Pakubuwono Kini Memiliki Dua Raja
Dengan adanya dua kubu yang sama-sama mengukuhkan raja, Keraton Surakarta kembali berada di tengah situasi dualisme kepemimpinan.
Satu kubu mendukung Purbaya sebagai PB XIV berdasarkan penetapan resmi ayahanda sebagai Putra Mahkota.
Kubu lain tetap menganggap Hangabehi sebagai PB XIV berdasarkan tradisi ahli waris tertua.
Hingga kini, belum ada satu suara bulat dari seluruh keluarga dan lembaga adat keraton mengenai siapa raja yang sepenuhnya sah.
Konflik suksesi yang tampaknya tak berujung ini membuat masa depan Keraton Surakarta kembali berada dalam sorotan publik, sama seperti krisis-krisis sebelumnya yang pernah mengguncang kerajaan tua tersebut.