**Puan Maharani Tegur Kepala BNPB, Ingatkan Letjen Suharyanto untuk Lebih Berempati kepada Korban Bencana**
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani, menyampaikan permintaan kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letnan Jenderal TNI Suharyanto, agar menunjukkan kepekaan yang lebih tinggi saat memberikan pernyataan mengenai bencana banjir di wilayah Sumatera.
Empati diartikan sebagai kondisi psikologis di mana seseorang mampu merasakan atau menempatkan diri dalam pengalaman perasaan atau pemikiran yang serupa dengan individu atau kelompok lain.
Sebelumnya, Suharyanto sempat menyatakan bahwa kondisi banjir bandang di Sumatera hanya terasa mencekam di platform media sosial.
Pernyataan tersebut, yang kemudian memicu kontroversi, berakhir dengan permohonan maaf dari Suharyanto.
“Dalam situasi seperti sekarang, lebih bijaksana bagi kita untuk menunjukkan empati yang lebih baik, daripada melontarkan komentar yang seharusnya tidak disampaikan,” tutur Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (3/12/2025).
Puan menekankan bahwa saat ini sedang terjadi musibah di berbagai daerah.
Oleh karena itu, setiap peristiwa bencana, sekecil apa pun, berpotensi menimbulkan dampak negatif.
“Jadi, sesederhana apa pun kejadiannya, pasti ada korban yang mengalami kesulitan,” ucap Ketua DPP PDIP itu.
Puan menegaskan, sangat penting bagi para pejabat publik untuk memperlihatkan rasa empati.
Dalam kondisi yang sedang berlangsung, menurut Puan, yang terpenting adalah seluruh lapisan masyarakat dapat bekerja sama dan saling membantu para korban yang terdampak bencana.
“Maka dari itu, segala upaya terbaik yang bisa kita lakukan, sebaiknya kita berikan bantuan,” pungkas Puan.
Sebelumnya, Letnan Jenderal Suharyanto, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah menyampaikan permintaan maaf atas komentarnya yang mengklaim bahwa bencana banjir dan tanah longsor hanya menimbulkan kepanikan di media sosial.
Permintaan maaf ini disampaikan Suharyanto setelah melakukan peninjauan langsung di lokasi bencana di Tapanuli Selatan dan melihat situasi dari ketinggian menggunakan helikopter.
“Saya benar-benar terkejut, saya tidak menyangka dampaknya sebesar ini. Saya mohon maaf, Pak Bupati. Bukan berarti kami tidak peduli,” kata Suharyanto dalam sebuah konferensi pers pada Senin (1/12/2025).
**Kekeliruan Pernyataan Pejabat**
Banjir bandang yang menerjang beberapa wilayah di Sumatera telah memicu perhatian tajam terhadap ungkapan yang dilontarkan oleh sejumlah pejabat negara.
Alih-alih menenangkan masyarakat dengan informasi yang akurat, beberapa komentar justru dianggap sebagai kesalahan besar yang memperkeruh suasana.
Kritikan bermunculan dari berbagai pihak yang menganggap pernyataan tersebut tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Di tengah laporan jumlah korban yang terus meningkat, serta warga yang terisolasi dan kesulitan mendapatkan bantuan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, sempat membantah kondisi ‘mencekam’ itu saat menjelaskan alasan mengapa pemerintah belum juga menetapkan status bencana nasional.
Suharyanto berdalih, status tersebut tidak diberlakukan karena situasi di lokasi kejadian “tidak mencekam seperti yang beredar di media sosial (medsos).”
Namun kemudian, setelah mengklaim bahwa bencana di Sumatera—khususnya Sumatera Utara—relatif terkendali, Letjen Suharyanto menyampaikan permohonan maafnya.
**Pejabat Kementerian Kehutanan**
Sebelumnya, nama Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Dirjen Gakkum) Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Dwi Januanto, juga menjadi pusat perhatian publik terkait pernyataannya tentang kemunculan kayu-kayu gelondongan di tengah banjir Sumatera Utara (Sumut).
Dwi Januanto menyebutkan bahwa hanyutnya kayu-kayu tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.
“Berdasarkan analisis sumber-sumber kayu itu. Pertama adalah kayu yang lapuk, kedua kayu yang diakibatkan oleh pohon tumbang, dan ketiga di area-area penebangan,” jelasnya.
Tidak butuh waktu lama, pernyataan tersebut menuai kritikan dari berbagai kalangan. Masyarakat menilai bahwa Kemenhut seharusnya segera melakukan pengecekan karena kayu-kayu tersebut tampak terpotong dengan rapi.
Keberadaan kayu-kayu berukuran besar ini menimbulkan pertanyaan di benak publik, dari mana asalnya dan mengapa bisa terbawa arus dalam jumlah yang masif?
Pasalnya, kayu-kayu besar tersebut menunjukkan bahwa yang hanyut bukan sekadar sisa pepohonan di sepanjang sungai, melainkan jenis kayu yang biasanya terkait dengan aktivitas penebangan.
Salah satu penyebab utama yang menjadi sorotan adalah dugaan adanya penebangan hutan, termasuk praktik pembalakan liar (illegal logging), di hulu sungai atau kawasan hutan yang kemudian menyebabkan potongan-potongan kayu tersimpan di tempat penampungan kayu (log-yard) atau diamankan di area terbuka.