Jakarta – Konflik antara organisasi lingkungan dan pemerintah Indonesia kembali mencuat. Aurelien Francis Brule, atau yang lebih dikenal sebagai Chanee Kalaweit, aktivis lingkungan asal Prancis sekaligus pendiri Yayasan Kalaweit, mengungkapkan bahwa dirinya mengalami tekanan dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) selama sembilan tahun terakhir. Tekanan ini, menurut Chanee, termasuk larangan untuk mengunggah konten terkait konservasi hutan di media sosial.
Dalam pengakuannya, Chanee menegaskan bahwa meskipun Yayasan Kalaweit merupakan mitra resmi Kemenhut, pihak kementerian sebelumnya cenderung mengabaikan keberadaan dan aktivitas yayasan. Selama 27 tahun tinggal di Indonesia, Chanee mengaku hampir tidak pernah memiliki komunikasi konstruktif dengan Kemenhut terkait kondisi hutan di tanah air.
“Selama 27 tahun kami berjuang dengan Yayasan Kalaweit, walaupun menjadi mitra Kemenhut dan mendapat dukungan besar dari masyarakat Indonesia, kami dicuekin oleh kementerian sebelumnya. Bahkan, kami ditekan agar tidak membahas konservasi hutan melalui media sosial,” ungkap Chanee dalam video yang diunggah di akun X pribadinya, @Kalaweit.
Tekanan yang Diterima
Chanee menuturkan, larangan untuk memposting soal konservasi hutan ini berlangsung selama hampir satu dekade. Tidak hanya itu, perizinan yayasan juga tidak diperpanjang, membuat aktivitasnya semakin terhambat. Menurut Chanee, kementerian sebelumnya memandang pembahasan soal konservasi hutan sebagai topik sensitif dan cenderung dihindari.
“Kami tidak hanya dicuekin, kami ditekan. Bahkan dibatasi atau dilarang memposting hal-hal yang tidak disukai kementerian soal konservasi. Ini situasinya sangat serius,” kata Chanee.
Tekanan ini juga berdampak pada komunikasi dengan organisasi nirlaba lain yang bergerak di bidang lingkungan. Banyak pihak yang kesulitan untuk bersuara atau memberikan masukan mengenai kondisi hutan dan satwa liar di Indonesia.
Komunikasi Baru Terjalin
Menurut Chanee, komunikasi konstruktif dengan Kemenhut baru terjalin dalam setahun terakhir, ketika kementerian dipimpin oleh Raja Juli Antoni. Momentum ini terjadi saat Menteri Kehutanan melakukan kunjungan ke lokasi rehabilitasi satwa owa di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, pada 5 Desember 2025.
“Baru kemarin Pak Menteri Kehutanan datang ke sini, dan beliau mau mendengarkan masukan, saran, dan perspektif kami mengenai kondisi alam di sini. Termasuk strategi melindungi kawasan konservasi menggunakan pesawat ringan,” ungkap Chanee.
Dalam pertemuan itu, Chanee mengajak Menteri Raja Juli melihat langsung bekas tambang batu bara yang tidak direklamasi dan kawasan kelapa sawit di wilayah konservasi. Chanee optimistis pertemuan ini akan membuka jalur komunikasi yang lebih baik antara organisasi nirlaba dan pemerintah, khususnya terkait pengelolaan hutan.
Profil Chanee Kalaweit
Chanee lahir pada 2 Juli 1979 di Var, Prancis, dari ayah Prancis dan ibu asal Indonesia. Sejak muda, ia sudah menunjukkan perhatian besar terhadap keanekaragaman hayati Indonesia, terutama satwa owa yang terancam punah. Pada usia 18 tahun, Chanee pindah ke Indonesia dengan dukungan finansial dari aktris Prancis Muriel Robin.
Tahun 1998, ia mendirikan Yayasan Kalaweit, yang berfokus pada perlindungan owa dan satwa liar lainnya di Kalimantan dan Sumatra dari perdagangan ilegal. Selain itu, yayasan ini mendirikan hutan cagar swasta untuk menjaga habitat satwa endemik seperti owa, siamang, beruang madu, bekantan, dan buaya.
Di Kalimantan Tengah, yayasan memiliki dua kawasan konservasi, yaitu The Dulan Reserve dan The Kalaweit Pararawen Nature Reserve seluas 1.054 hektare. Sementara di Kabupaten Solok, Sumatra Barat, yayasan mengelola The Supayang Reserve seluas 400 hektare.
Harapan dan Tantangan
Chanee menekankan bahwa kerusakan alam di Indonesia telah berlangsung lama, sehingga pemulihan tidak dapat dilakukan secara instan. Ia berharap melalui komunikasi yang lebih terbuka dengan Kemenhut, aktivitas konservasi di lapangan dapat berjalan lebih efektif, sambil tetap memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah.
“NGO seperti kami harus tetap beraktivitas di lapangan, melakukan program bersama masyarakat. Tidak hanya sekadar menyuarakan, tetapi juga memberikan solusi nyata,” tegas Chanee.
Yayasan Kalaweit menjadi contoh perjuangan panjang aktivis lingkungan internasional di Indonesia, menghadapi tekanan birokrasi sekaligus berupaya menyelamatkan ekosistem dan satwa yang semakin terancam punah.