Perjalanan Berat Warga Aceh Tengah Akibat Banjir, Terpaksa Jalan Kaki Berjam-jam Demi Sembako

Warga di wilayah Aceh Tengah harus menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki menuju Lhokseumawe. Aksi ini dilakukan demi mendapatkan beras serta kebutuhan pokok lainnya, mengingat daerah mereka masih terisolasi karena putusnya akses jalan nasional setelah diterjang banjir bandang dan longsor. Perjuangan warga Aceh Tengah ini menjadi sorotan di tengah kesulitan pascabencana.

Roni (43), seorang penduduk Takengon, membagikan kisahnya tentang perjalanan sulit yang ia lakukan bersama istrinya. Mereka menuju Lhokseumawe dengan tujuan utama membeli beras, bahan pangan, bahan bakar, dan keperluan lain yang mendesak.

“Sebelumnya, kami sekeluarga tidak dapat memasak di rumah selama satu hari penuh karena persediaan makanan habis. Situasi ini mendorong kami untuk bertekad melakukan perjalanan berbelanja ke Lhokseumawe,” ungkap Roni di Aceh Tengah, pada Senin (8/12), sebagaimana dilansir Antara.

**Akses Jalan Terputus Sepenuhnya**

Menurut penuturannya, pascabencana, jalur Jalan KKA, yang merupakan satu-satunya rute terdekat menuju Lhokseumawe, kini tidak dapat dilalui sama sekali. Berbagai titik jalan rusak parah, ambles akibat tergerus derasnya arus banjir dan tertutup material longsor. Kondisi ini membuat warga Aceh terisolir dan sulit mendapatkan sembako.

Dimulai dari Takengon, Roni menggunakan sepeda motor hingga tiba di Kampung Buntul, Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah. Di sana, ia menitipkan kendaraannya di kediaman warga setempat dengan biaya Rp10.000.

Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki dari Buntul menuju Kampung Kem, Kecamatan Permata, Bener Meriah. Perjalanan pergi memakan waktu 2,5 jam, sementara perjalanan pulang memakan waktu lebih dari lima jam karena membawa sejumlah barang. Total waktu perjalanan jalan kaki Roni mencapai sekitar 7,5 jam.

“Dari Kampung Kem, kami menyewa ojek dari warga setempat dengan biaya Rp20.000 untuk menuju Kampung Buntul Sara Ine, yang masih berada di Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah,” jelas Roni.

“Setibanya di sana, kami kemudian dijemput oleh anggota keluarga untuk langsung menuju Lhokseumawe,” tambahnya.

Ketika sampai di Lhokseumawe, Roni mengungkapkan bahwa ia dan istrinya menginap semalam di rumah kerabat. Keesokan harinya, mereka segera berbelanja berbagai kebutuhan yang akan dibawa kembali ke Aceh Tengah.

Prioritas utama, sambungnya, adalah membeli beras dan bahan bakar minyak (BBM). Kekhawatiran akan lamanya dampak bencana di Aceh Tengah menjadi alasan utama mereka memprioritaskan barang-barang tersebut, mengingat banyak warga Aceh terisolir.

“Kami membeli lima sak beras dengan total berat 25 kilogram. Selain itu, satu tabung gas melon, satu dus Indomie, tiga liter minyak goreng, tiga botol kecap, dan 10 liter minyak Pertalite juga kami beli,” rincinya.

**Persediaan Pangan Berkurang**

Ayah dari empat anak ini mengaku terpaksa mengambil risiko menempuh perjalanan berat tersebut. Tujuannya adalah untuk memastikan ketersediaan pasokan makanan bagi keluarganya tetap terjamin selama periode darurat bencana banjir bandang ini.

Dalam perjalanan panjang itu, Roni harus meninggalkan keempat anaknya di Takengon, yang dititipkan kepada tetangga terdekat.

Menurut Roni, ketika ia memutuskan untuk berbelanja ke Lhokseumawe, situasi di Takengon sudah dilanda krisis pangan. Beras dan bahan bakar minyak (BBM) sudah tidak tersedia lagi di pasaran.

“Jika hanya mengandalkan bantuan pemerintah, itu tidak mungkin; anak-anak kami tidak akan makan. Gerakan pemerintah dalam menyalurkan bantuan terasa sangat lambat,” keluh Roni, menggambarkan perjuangan warga Aceh dalam menghadapi bencana.

By Adit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *