Suku Kajang di Desa Tana Toa, Sulawesi Selatan dinobatkan menjadi penjaga hutan hujan tropis terbaik di dunia. Menurut artikel The Washington Post 1 Mei 2023 lalu, disebutkan bahwa Suku Kajang sangat berkontribusi menjaga bumi dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk melestarikan hutan. Untuk mempertahankan alam dan warisan leluhur, suku ini melarang keras penebangan pohon, perburuan, bahkan mencabut rumput, kecuali untuk kebutuhan adat yang mendesak, seperti pembangunan rumah. Hutan dibagi menjadi dua: Borong Karamaka (hutan keramat yang mencakup 75% luas wilayah adat) hanya untuk upacara adat dan pelaksanaan ritual, dan Borong Batasayya (hutan perbatasan) yang memungkinkan aktivitas terbatas dengan aturan ketat, seperti setiap satu pohon yang ditebang, harus menanam dua pohon sebagai gantinya. Penebangan pohon pun hanya boleh dilakukan apabila pohon pengganti telah tumbuh.

Suku Kajang terbagi dalam 15 desa luar dan dalam hamparan hutan hujan tropis seluas 3100 hektar. Namun, luas lahan adat tersebut secara teknis hanya diakui 310 hektar oleh pemerintah Indonesia. Ammatoa (pemimpin spiritual) adalah pimpinan suku yang memastikan aturan-aturan dilaksanakan dan juga bertindak pengambil keputusan bagi pelanggar. Selain memiliki kebijakan konservasinya yang ketat, Suku Kajang juga dikenal memiliki tradisi luhur dalam kehidupan sehari-hari, upacara adat, serta kerajinan tangan ramah lingkungan yang mencerminkan hubungan harmonis dengan alam. Hal ini tidak terlepas dari hukum “Pasang Ri Kajang”, yaitu hukum leluhur yang diturunkan secara lisan melalui legenda dan dongeng yang menceritakan asal-usul manusia pertama jatuh yang dari langit ke dalam hutan mereka, yang kemudian menjadikannya tempat paling suci di Bumi. Sebagai komunitas yang selalu menjaga kearifan lokal, Suku Kajang hidup secara mandiri dengan pertanian swasembada, tanpa industri atau perdagangan secara signifikan.

Di era modern sekarang, mereka, khususnya yang berada di area terluar terdesak oleh moderninasi dan sebagian dari mereka tidak terlalu ketat menjalankan prinsip hidup “Pasang Ri Kajang”. Generasi mudanya banyak yang belajar ke universitas, mengunakan ponsel dan memakai pakaian produksi pabrik. Sebagian ada juga yang kembali ke wilayah adat mereka untuk membangun koperasi modern yang menjual sarung buatan tangan di pasar lokal. Sarung dan pakaian yang dipakai anggota Suku Kajang terbuat dari kapas yang mereka tanam sendiri dan menenunnya dengan alat tenun tradisional dari kayu dan mewarnainya dengan pewarna alami dari tanaman nila yang memberi warna biru tua atau hitam. Selain menjadi penjaga hutan tropis terbaik di dunia, Suku Kajang secara tidak langsung juga telah menjadi pelestari budaya.